Membumikan Konsep Masyarakat Madani
Oleh: Rizqa Ahmadi
1.
Pengertian Dan Sejarah Term Masyarakat Madani
Sudah menjadi sunatullah
ketika terjadi kemunduran dalam penerapan pilar-pilar tegaknya system yang
menjamin kedamaian, kesejahteraan dalam sebuah Negara, maka muncul para pemikir
atau lebih tepatnya konseptor untuk mengupyakan bagaimana sebisa mungkin kemunduran
tersebut dapat segera teratasi. Wujud dari upaya tersebut adalah dengan
memunculkan ide-ide, gagasan atau konsep tentang sebuah system yang ideal, dinamis
dan beradab. Begitu juga munculnya konsep Masyarakat Madani di berbagai belahan
dunia dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan beberapa kalangan akibat kurang
kondusifnya tatanan sosial yang belum menerapkan prinsip toleransi, kebebasan publik,
terjadinya kesenjangan sosial dan diskriminasi yang merajalela. Sehingga
masyrakat yang ada belum mencerminkan masyarakat yang berperadaban maju.
Mengamati pengertian Masyarakat
madani, secara harfiah Masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yg
mereka anggap sama. Sedangkan kata Madani berasal dari bahasa arab madinatun
yang berarti kota. Atau dengan kata lain yang berhubungan dengan perkotaan
dimana menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yng ditopang oleh penguasaan iman,
ilmu, dan teknologi yang berperadaban. Kata Madaniyun dalam bahasa arab juga diartikan dengan
peradaban atau hadharah. Namun demikian arti dari penekanan kata madani
di sini bukan terlatak pada unsur geografis melainkan karakter atau sifat-sifat
tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota.s
Adapun pengertian masyarakat madani dalam
arti yang luas sangat beragam. Hal ini dikarenan konsep masyarakat madani
muncul di berbagala belahan dunia dengan latar belakang yang berbeda pula. Seperti
halnya di Barat, telah dikenal dengan istilah civil society, meskipun tidak
semua kalangan sependapat bahwa civil society adalah padanan dari kata masyarakat
madani. Sedangkan Masyarakat madani lebih dekat dengan istilah mujtama’
Madani yang merupakan konsep tatanan ideal bermasyarakat yang telah
diterapakan oleh Rasulullah SAW. ketika membangun masyarakat madinah.
Sebagai contoh perbadaan definisi yang
disebabkan latar belakang sosio-cultur, adalah Zbigniew Rau dengan latar
belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet mendefinisikan bahwa
yang dimaksud masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari
sejarah yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka
bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka
yakini. Atau dengan kata lain yang dimaksud masyarakat madani di sini adalah
sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan Negara.[1] Pada
kasus lain, Han Sung-joo dengan latar belakang kasus korea selatan memiliki
definisi yang berbeda pula. Menurutnya yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah
kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan
sukarela yang terbebas dari Negara, suatu ruang public yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama mengakui norma-norma dan
budaya yang menjadi identitas dan solideritas yang terbentuk serta pada
akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.[2]
Kedua devinisi diatas hanya sebagian kecil dari terjemahan civil society oleh
beberapa pakar yang masih memungkinkan adanya celah-celah untuk mendefinisikan dengan
fersi yang berbeda sesuai dengan kultur budaya yang melatarbelakangi.
Namun demikian dari kedua definisi
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah sekelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara
mandiri di hadapan penguasa dan Negara memiliki ruang publik dalam mengemukakan
pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi
dan ruang public.[3]
Jika merunut geneologi
istilah masyarakat madani dengan dipadankan civil society, diketahui
bahwa konsep ini sebenarnya telah dirumuskan sejak zaman Aristoteles (384-322 S.M).
Menurut Dawam Raharjo, pada masa itu masyarakat madani dipahami sebagai system kenegaraan
dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas
politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi
politik dan pengambilan keputusan.[4]
Namun demikian istilah ini lebih
populer diperkenalkan oleh Marcus Tulllius Cicero (106-43 S.M.) dengan
menggunakan istilah societies sivilis. Ia adalah seorang orator dan
pujangga Roma yang hidup dalam abad pertama sebelum Kristus. Civil Society
disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik yang memiliki kode hukum
sebagai dasar pengaturan hidup.[5]
Dalam rentetan sejarah konsep civil
society yang dikemukakan oleh para pakar ada yang menarik untuk
diperhatikan, yaitu adanya kontradiksi pemikiran. Sebagai contoh Thomas Paine (
1737-1803) menggunakan istilah masyarakat madani ssebagai kelompok masyarakat
yang memiliki posisi secara diametral dengan negara bahkan dianggapnya
antithesis dari Negara. Pain mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang
menjadi domain masyarakat, dimana intervensi Negara di dalamnya merupakan
aktifitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya masyarakat madani
harus lebih kuat dan mampu mengontrol Negara demi kebutuhannya. Dalam hal ini Islam memandang penyepadanan
antara istilah masyarakat madani dengan civil society rasnya tidak
tepat. Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara (din) agama dan (daulah)
Negara. Bahkan Rasulullah SAW. diutus tidak hanya sebagai pemimpin kegamaan
melainkan pemimpin kenegaraan yang mengatur kehidupan bermasyrakat.
Pada fasa perkembangan konsep
masyarakat madani berikutnya, G.W.F Hegel (1770-1831 M.), Karl Marx. (1818-1883
M.) dan Antonio Gramschi (1891-1837 M) justru memiliki pandangan berlawanan
dengan yang dikemukakan oleh Pain. Ketiga tokoh ini menekankan bahwa
mmasyarakat madani sebagai elemen ideology kelas dominan. Menurut Hegel masyarakat
madani adalah kelompok subordinatif dari Negara. Lebih lanjut Hegel menjelaskan
bahwa struktur sosial terbagi atas tiga entitas yakni keuarga, masyarakat
madani, dan Negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai
anggota masyarakatyang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan
lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan
golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara Negara merupakan representasi
ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak
dan berhak penuh untuk intervensi masyarakat madani.[6]
Sedangkan di Indonesia konsep
masyarakat madani menurut beberapa literature disepakati bahwa yang mengenalkan
istilah ini adalah Timbalan P.M. Malaysia Anwar Ibrahim melalui ceramahnya di
vestifal Istiqlal 1995. Dawam Raharjo menyebutkan bahwa agama merupakan sumber,
peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Dengan
demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai “masyarakat madani”
yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban, dan perkotaan.[7]
2.
Tujuan Masyarakat Madani
Telah disepakati bahwa istilah
masyarakat madani lebih mengacu pada konsep masyarakat madinah yang kala itu memiliki
perdaban yang tinggi. Hal ini bisa terjadi karena prinsip yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW. berdasarkan nilai-niliai Islam. Islam telah mengatur tentang
bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Islam tidak mengenal adanya pemisahan
antara unsure-unsur keduniaan dan keagamaan. Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat
alquran yang banyak membicarakan tentang bagaimana membentuk masyarakat yang
ideal, masyarakat yang toleran dan masyrakat yang moderat.
Sebagai contoh konsep masyarakat
madani ditelaah dari penafsiran alquran dengan (khairah ummah),
masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah
muqtashidah). Berikut ini kutipan ayat-ayat yang menggunakan
istilah-istilah tersebut :
- Khairah ummah dalam QS. Ali Imran (3): 110, yakni ;
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.
بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.
Terjemahnya
:
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
2. Ummatan wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;
2. Ummatan wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ.
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ.
Artinya :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
3.Ummah Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66, yakni ;
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ
وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ
فَوْقِهِمْ وَمِنْ
تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ.
تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ.
Terjemahnya
:
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat,
Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya
mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di
antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang
dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
Dari kutipan ketiga ayat tersebut
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Alquran mengindikasikan akan kelebihan
yang dimiliki oleh orang-orang muslim sebagai umat yang terbaik, umat yang tawasut
atau moderat jika telah benar-benar mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan oleh
Islam. Yang menjadikan konsep masyrakat madani berbeda dengan konsep civil
society dengan pemahaman yang
berbeda, Islam di sini dalam kontek dimana keimanan atau akidah keislaman
merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dalam ranah penerapan konsep
tersebut. Maka sangat masuk akal ketika pada ayat yang pertama diatas
menyebutkan bahwa andaikata ahli kitab itu beriman maka akan berpotensi menjadi
umat yang baik pula.
Selain dari ketiga ayat di atas ada juga ayat yang berkaitan dengan visi kemasyarakatan. Allah berfirman dalam surat Ali Imron Ayat 103 dan 104 yang artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. merekalah orang-orang yang beruntung.
Selain dari ketiga ayat di atas ada juga ayat yang berkaitan dengan visi kemasyarakatan. Allah berfirman dalam surat Ali Imron Ayat 103 dan 104 yang artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. merekalah orang-orang yang beruntung.
Kedua
ayat ini memiliki hubungan yang erat. Yang pertama adalah perintah untuk
membentuk kesatuan umat yang bersatu di bawah hukum illahi. Sedangkan yang ke
dua dapat ditafsirkan agar ada sekelompok orang-mungkin diantara pemimpin
masyarakat- yang membantu ummah. Di sini ummah dapat ditafsirkan organisasi, menurut Ibnu
Khaldun organisasi ini di zaman modern tak lain adalah Negara atau pemerintahan.
Menurut
Dawam Raharjo, visi kemasyarakatan yang dapat ditarik dari ayat 103 adalah pertama
kesatuan ummat yang menghindarkan diri dari perpecahan. Dalam konteks sejarah Indonesia
visi ini diterjemahkan menjadi sila ke-tiga pancasila, yaitu persatuan
Indonesia. Kedua, adalaha adanya hukum yang disepakati sebagai pegangan.(Dawam
Raharjo:95) Tanpa hukum masyarakat akan kebingungan dengan apa mereka harus
berpegangan. Hukum sebagai pnyelaras yang mengontrol tatanan masyarakat.
Dengan demikian telah jelas bahwa
munculnya konsep masyarakat madani adalah dalam upaya membentuk masyarakat yang
memiliki peradaban yang tinggi. Artinya semua elemen baik pemerintah dan
masyarakat dapat menjalankan tugas sesaui peran masing-masing tanpa tumpang
tindih. Sehingga sterciptalah masyrakat yang sejahtera, berpendidikan dan
memiliki loyalitas tinggi terhadap Negara dan kesatuan warga Negara.
4.
Karakteristik Masyarakat Madani
Dr. M.
Masykuri, M.Si mengutip statemen Dr.
Yusuf Al-Qordawi tentang karakteristik masyarakat madani yaitu:
- Non rasisme dan regionalisme (negara internasional): masyarakat madani/Negara Islam tidak didasarkan pada batas-batas geografis, suku, bahas dan warna kulit, melainkan negara yang terbuka bagi semua orang yang mengimani Islam;
- Konstitusi negara berdasar syariat: konstitusi negara adalah AlQuran dan assunnah.“…dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” QS Al Maidah, 49:Negara berdasarkan musyawarah: memberikan hak pada setiap individu untuk memberikan nasehat pada penguasa agar senantiasa amar ma’ruf nahi mungkar (QS At Taubah, 71).
- Negara sebagai sarana dakwah: salah satu tujuan negara adalah dakwah islamiyah; bukan negara pengumpul harta benda.
- Negara sebagai pelindung yang lemah: negara mengutamakan kesejahteraan kaum lemah, memberikan sebagian pendapatannya untuk kaum dhuafa (QS Al Hasyr: 4). Negara menjamin hak asasi: hak hidup, hak memiliki, hak beragama, hak terhadap jiwa, kehormatan, harta dan keturunan.
- Negara sebagai penjaga moral bangsa: negara menjunjung tinggi akhlak mulia (AnNisa: 135)
5.
Piagam Madinah dan Potret Kerukunan Antar Umat Beragama
Perjuangan dakwah Islam yang
dilakukan Rasulullah SAW. melalui tahapan-tahapan yang panjang. Dakwah Islam
mula-mula dengan cara diam-diam. Setelah wahyu yang mengutus Rasulullah SAW. untuk
menyampaikan dakwah kepada orang lain turun, maka Beliau berdakwah kepada
kerabatnya, dan orang-orang terdekat. Kala itu Khadijah adalah wanita pertama
yang masuk Islam. Setelah itu Ali bin Abi Thalib adalah yang pertama dari
anak-anak dan Zaid bin Haritsah dari kalangan budak. Dan lima orang lainnya
yang merupakan orang-orang yang pertama masuk Islam atau lebih dikenal dengan Assabiqunal
awwalun.
Maka ketika Rasulullah SAW. diberi lisensi
oleh Allah swt. untuk menyebarkan agama Islam secara terang-terangan, beliaupun
melakukannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan totalitas. Berbagai rintangan
dan hambatan selalu dihadapi tanpa putus asa. Terlebih kaum Qurays yang punya
watak keras kepala, bukan hal yang mudah untuk mengajak mereka masuk Islam. Tak
jarang Rasulullah saw. diejek dicemooh secara terang-terangan.
Setelah perjuangan dakwah Islam di Makkah
dirasa cukup, maka Rasulullah SAW. berdakwah ke luar Makkah. Sejarah mencatat
bahwa hijrah ke Yatsrib atau lebih dikenal kini dengan Madinah bukan
kali pertama yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebelumnya Beliau dan para Sahabat pernah
melakukan dakwah ke Habasyah dan Taif. Adapun hijrah Nabi ke Yastrib dipahami
banyak orang, seolah-olah satu-satunya tempat tujuan Nabi berhijrah. Hal ini
diasumsikan bahwa saat itu Nabi telah mendapatkan pencapaian keberhasilan yang
luar biasa. Inilah yang menjadikan beberapa kalangan kontek Madinah adalah
potret kehidupan brmasyarakat yang ideal untuk dijadikan panutan.
Diantara bukti-bukti yang meneladani
kaum Muslimin untuk bisa hidup bermasyarakat yang madani yaitu dengan melihat kronologi
dan rangkaian-rangkaian dakwah yang dilakukan Rasul ketika di Madinah. Setiba
di Madinah, yang dilakukan adalah membangun sebuah masjid. Disebutkan bahwa
saat lokasi telah ditentukan yang mana kala itu mengikuti dimana unta yang
ditunggangu Rasulullah berlutut. Di lokasi itu didapati kuburan orang-orang
muyrik. Nabi memerintahkan untuk menggalinya dan memindahkan di tempat lain.(Mubarakfury:143)
Ini menandakan bahwa akan sikap toleran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Masjid yang dibangun ini tidak hanya
berfungsi sebagai tempat melaksanakan sholat lima waktu, melainkan juga sebagai
tempat untuk menyampaikan pemahaman
tentang Islam, sebagai tempat pertemuan para kabilah untuk membicarakan berbagai
urusan serta menjadi parlemen untuk melakukan musyawarah dan mengagendakan
suatu rencana.(Mubnarakfuru:143) Selain itu masjid juga berfungsi sebagi tempat
tinggal para kaum muhajirin yang membutuhkan yang saat itu tidak memiliki harta,
tempat tinggal bahkan keluarga.
Setelah Nabi menjadikan masjid
sebagai tempat berkumpul dan bersatu, langkah berikutnya adalah mempersatukan
antara Muhajirin dan Anshor. Mubarokfury mengutip perkataan Ibnu Qayyim:”Maka
Rasulullah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor di rumah Anas bin
Malik. Jumlah mereka Sembilan puluh orang. Separuh Muhajirin dan separuh
lainnya Anshor. Mempersatukan mereka dengan persamaan dan saling mewarisi
setelah mereka mati. Kesepaktan ini terhapus setelah turun surat al-anfal ayat 75 yang mengembalikan hak harta waris
kepada kaum kerabat bukan karena ikatan persaudaraan non kerabat yang artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah
itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk
golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Maksudnya: yang jadi dasar waris
mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan
keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan
Islam.
Ini menandakan bahwa ikatan persaudaran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. telah melunturkan unsur-unsur kesukuan, perbedaan ras, warna kulit yang melatar belakangi mereka. Meraka hanya punya satu rasa, satu ikatan yaitu hanya ikatan akidah Islam. Selain Rasulullah SAW. mempersatukan orang-orang mukmin dari dua wilayah yang berbeda, Beliau juga mengadakan perjanjian persekutuan Islami kepada orang-orang yang pernah tesakiti dan kabilah-kabilah yang berseteru. pada masa jahiliyah. Perjanjian ini untuk mewujudkan Islam yang sempurna.
Tidak cukup sampai di situ. Setelah Rasulullah SAW. meletakkan pilar-pilar persatuan dan persaudaraan sesama muslim, langkah berikutnya yang dilakukan adalah membuat perjanjian dengan penduduk madinah yang non muslim. Masyarakat non muslim di Madinah didominasi oleh orang Yahudi yang telah menetap jauh sbelum Rasulullah beserta para Sahabat datang. Tujuannya adalah untuk menciptakan keamanan dan ketentraman untuk seluruh manusia di bawah satu peraturan yang melindungi dan mengayomi. (Al-Mubarokfury:147) Maka Rasulullah SAW. meletakkan prinsip toleransi (tasamuh) yang kala itu masyarakat di dunia masih akrab dengan fanatisme kesukuan, ras, agama dan budaya.
Setelah Piagam Madinah atau menurut orang barat sosial contaract ditetapkan, maka masing-masing penduduk Madinah diberikan kebebasan untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Kaum Yahudi dan umat Islam hidup berdampingan dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Jika memperhatikan poin-poin yang terkandung dalam piagam Madinah, diantara poinnya menyebutkan bahwa “ Sesunggunya orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu ‘umat’ bersama orang- orang mukmin. Bagi orang yahudi memiliki hak atas beragama harta dan jiwanya begitu juga orang-orang Muslim. Berlaku juga bagi orang-orang Yahudi selain dari bani ‘Auf”. Dari penggalan perjanjian diatas dapat dipahami bahwa baik Muslim dan Yahudi satu “umat”. Umat di sini memiliki arti masyrakat yang satu atau warga yang memiliki persamaan hak dan kewajiban.
Ini menandakan bahwa ikatan persaudaran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. telah melunturkan unsur-unsur kesukuan, perbedaan ras, warna kulit yang melatar belakangi mereka. Meraka hanya punya satu rasa, satu ikatan yaitu hanya ikatan akidah Islam. Selain Rasulullah SAW. mempersatukan orang-orang mukmin dari dua wilayah yang berbeda, Beliau juga mengadakan perjanjian persekutuan Islami kepada orang-orang yang pernah tesakiti dan kabilah-kabilah yang berseteru. pada masa jahiliyah. Perjanjian ini untuk mewujudkan Islam yang sempurna.
Tidak cukup sampai di situ. Setelah Rasulullah SAW. meletakkan pilar-pilar persatuan dan persaudaraan sesama muslim, langkah berikutnya yang dilakukan adalah membuat perjanjian dengan penduduk madinah yang non muslim. Masyarakat non muslim di Madinah didominasi oleh orang Yahudi yang telah menetap jauh sbelum Rasulullah beserta para Sahabat datang. Tujuannya adalah untuk menciptakan keamanan dan ketentraman untuk seluruh manusia di bawah satu peraturan yang melindungi dan mengayomi. (Al-Mubarokfury:147) Maka Rasulullah SAW. meletakkan prinsip toleransi (tasamuh) yang kala itu masyarakat di dunia masih akrab dengan fanatisme kesukuan, ras, agama dan budaya.
Setelah Piagam Madinah atau menurut orang barat sosial contaract ditetapkan, maka masing-masing penduduk Madinah diberikan kebebasan untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Kaum Yahudi dan umat Islam hidup berdampingan dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Jika memperhatikan poin-poin yang terkandung dalam piagam Madinah, diantara poinnya menyebutkan bahwa “ Sesunggunya orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu ‘umat’ bersama orang- orang mukmin. Bagi orang yahudi memiliki hak atas beragama harta dan jiwanya begitu juga orang-orang Muslim. Berlaku juga bagi orang-orang Yahudi selain dari bani ‘Auf”. Dari penggalan perjanjian diatas dapat dipahami bahwa baik Muslim dan Yahudi satu “umat”. Umat di sini memiliki arti masyrakat yang satu atau warga yang memiliki persamaan hak dan kewajiban.
6.
Masyarakat madani di Indonesia; Paradigma dan praktik
Gagasan
Masyrakat madani di Indonesia mulai tampak menjelang tumbangnya rezim Orde
Baru. Dalam penilaian banyak kalangan, selama Orde Baru, kekuasaan pemerintah
telah berkembang terlalau jauh. Pada Pada masa Demokrasi terpimpin, hal itu
sudah terjadi dan sebenarnya hendak di
cegah dalam pemerintahan Orde Baru. Tetapi dalam kenyataannya yang terjadi pada
masa Orde Baru tidak jauh berbeda dengan di masa Orde Lama. Yaitu, pemerintah telah mendominasi kekuasaan-kekuasaan
lainnya. Dominasi terhadap lembaga peradilan dan lembaga Perwakilan Rakyat
telah menimbunglkan gangguan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan mekanisme
demokrasi.(Dawam:233) Agaknya hal ini mengindikasikan bahwa konsep Masyarakat
madani muncul berkaitan erat dengan gagasan dan visi demokratisasi yang
diperjuangkan banyak kalangan. Mengingat proses demokratisasi yang digembor-gemborkan
seolah-olah tidak mendapati hasil yang memuaskan.
Untuk
kasus di Indonesia, Agama mengambil peranan penting dalam membentuk Masyarakat
madani, khususnya sebagai masyarakat politik. Namun hal ini terkadang mengalami
hambatan dikarenakan Idealisme Negara menjadi kecenderungan yang dominan.
Kecenderungan Negara yang idealistik dan integralistik ini dapat memarginalakn
peranan agama. Marginalisasi agama berarti pengeringan sumber-sumber nilai
agama. (Dawam: 230)
Hal
ini sangat mencolok ketika dibandingkan dengan konsep masyarakat madani yang
diterapkan di dunia Barat, agama relatif tidak pernah menjadi pusat kekuasaan.
Berbeda dengan beberapa wilayah, sejarah pernah mencatat bahwa justru unsur
agama menempati tempat tersendiri dalam proses pemebentukan masyarakat yang
madani. Seperti yang telah dilakukan Rasulullah SAW. ketika membangun kota
Madinah. Hal ini menginspirasi banyak kalangan termasuk tokoh-tokoh dari
Indonesia.
Dengan
demikian rasanya tidak pas kalau ada sebagian kalangan beranggapan bahwa menerapkan
konsep Masyarakat Madani di Indonsia ini tidak relevan dan tidak cocok. ‘Mereka’ beranggapan
bahwa konsep ini lahir dari pemikiran orang barat yang dikhawatirkan akan
mengarah pada pemahaman yang sekuler, liberal tanpa batas. Istilah boleh sama
tapi muatan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tentu berbeda. Padahal
setiap Negara memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda dan latar
belakang merupakan elemen penting untuk menganalisa permasalahan-permasalahan
untuk kemudian ditindak lanjuti dengan mencarikan solisi dan jalan keluar. Dengan
demikian jika ingin berhasil, maka penerapan Konsep Masyarakat Madani harus disesuaikan
dengan konteks Keindonesiaan.
7.
Strategi membangun Masyarakat Madani di Indonesia
Seperti
yang telah dibahas sebelumnya, bahwa dalam masyarakat madani, warga Negara
bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama.
Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada
independensinya terhadap Negara (vis a vis the state)[8]
Meskipun begitu bukan berarti pemerintah tidak memiliki kontribusi
sedikitpun. Tugas pemerintah adalah menjalankan amanah rakyat dengan
memperhatikan hak-hak dan keinginan rakyatnya tanpa ada unsur otoriter dan
kekuasaan tanpa batas. Dengan demikian
pemerintah tetap menjadi faktor penting dalam demokratisasi dan reformasi
politik yang merupakan agenda bagi berbagai gerakan dan kelompok masyarakat.
Upaya
membangun masyarakat madani adalah buah dari kegagalan demokratisasi yang
berjalan di Indonesia. Untuk itu muncullah berbagai gagasasan agenda
pemberdayaan masyarakat. Pertama, yang lebih mementingkan upaya-upaya integrasi
nasional mencakup integrasi politik, integrasi sosial, integrasi ekonomi, dan
integrasi budaya di bawah kepemimpinan pemerintah. Pemikiran ini justru
dianggap menimbulkan hambatan-hambatan menuju demokratisasi. Kedua, yang
mengutamakan perombakan system politik yang memiliki cirri-ciri demokrasi,
khususnya menghormati hak-hak asasi manusia. Usaha ke arah ini banyak mengalami
kegagalan dan justru memancing munculnya tindakan-tindakan yang tidak demokratis.
Ketiga, paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan
demokrasi, pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan
yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi.(Dawam: 242)
Lebih
lanjut Dawam Raharjo menjelaskan, strategi yang dapat ditempuh untuk membangun
masyarakat madani melalui pemberdayaan masyarakat dengan tiga cara. Pertama,
dengan memperluas golongan menengah melalui pembangunan ekonomi yang lebih
terarah. Kedua, memberdayakan system politik dengan menciptakan kerangka
kelembagaan yang lebih kondusif terhadap demokratisasi. Dan ketiga, dengan
upaya-upaya penyadaran dan pendidikan politik, tidak hanya di lapisan menengah
ke bawah, tetapi di kalangan elit politik.(Dawam: 245)
Dalam
kerangka pemikiran masyarakat madani, persatuan umat dipandang sangatlah
penting. Persatuan ini dilandasi oleh kebajikan umum (alkhair) yang
diterima bersama. (Dawam 245) Persatuan dan kesatuan adalah modal awal sebelum melangkah
untuk melakukan strategi-strategi mewujudkan masyarakat madani. Jika persatuan
telah melekat dan perbedaan telah terkikis, maka langkah untuk mewujudkan cita-cita bersama
adalah perkara yang tidak mustahil dan masyarakat madanipun segera terealisasi.
Referensi
Tim ICEE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi
manusi dan Masyarakat Madani, Jakarta: 2003.
Fazrianto,Anugrah Teorisasi Demokrasi, Negara Bangsa, dan
Masyarakat Madani dalam perspektif UUD 45, Proceeding semnas FISIP UT-2011 hal.
13
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, Kritik hermeneutis Masyarakat
Madani Nurcholis Majid, LP2IF, Yogyakarta: 2001.
Culla, Adi Surya, Masyarakat Madani; Pemikiran, teori dan
relevansinya dengan cita-cita Reformasi. Rajawali Press, Jakarta:
[1]
Tim ICEE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi manusi dan
Masyarakat Madani, Jakarta: 2003 hal. 238
[2]
Ibid hal. 239
[3] Ibid
hal. 240
[4]
Ibid hal. 242
[5] M.
Dawam raharjo , Masyarakat Madani; Agama, kelas menengah dan perubahan
Sosial, hal 137.
[6] Tim
ICEE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi manusi dan
Masyarakat Madani, Jakarta: 2003 hal. 244
[7] M.
Dawam raharjo , Masyarakat Madani; Agama, kelas menengah dan perubahan
Sosial, hal.
[8]
Anugrah Fazrianto, Teorisasi Demokrasi, Negara Bangsa, dan Masyarakat Madani
dalam perspektif UUD 45, Proceeding semnas FISIP UT-2011 hal. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar