Sabtu, 26 Oktober 2013

Membumikan Konsep Masyarakat Madani
Oleh: Rizqa Ahmadi

1.      Pengertian Dan Sejarah Term Masyarakat Madani
Sudah menjadi sunatullah ketika terjadi kemunduran dalam penerapan pilar-pilar tegaknya system yang menjamin kedamaian, kesejahteraan dalam sebuah Negara, maka muncul para pemikir atau lebih tepatnya konseptor untuk mengupyakan bagaimana sebisa mungkin kemunduran tersebut dapat segera teratasi. Wujud dari upaya tersebut adalah dengan memunculkan ide-ide, gagasan atau konsep tentang sebuah system yang ideal, dinamis dan beradab. Begitu juga munculnya konsep Masyarakat Madani di berbagai belahan dunia dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan beberapa kalangan akibat kurang kondusifnya tatanan sosial yang belum menerapkan prinsip toleransi, kebebasan publik, terjadinya kesenjangan sosial dan diskriminasi yang merajalela. Sehingga masyrakat yang ada belum mencerminkan masyarakat yang berperadaban maju.
Mengamati pengertian Masyarakat madani, secara harfiah Masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Sedangkan kata Madani berasal dari bahasa arab madinatun yang berarti kota. Atau dengan kata lain yang berhubungan dengan perkotaan dimana menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yng ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban. Kata Madaniyun  dalam bahasa arab juga diartikan dengan peradaban atau hadharah. Namun demikian arti dari penekanan kata madani di sini bukan terlatak pada unsur geografis melainkan karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota.s
Adapun pengertian masyarakat madani dalam arti yang luas sangat beragam. Hal ini dikarenan konsep masyarakat madani muncul di berbagala belahan dunia dengan latar belakang yang berbeda pula. Seperti halnya di Barat, telah dikenal dengan istilah civil society, meskipun tidak semua kalangan sependapat bahwa civil society adalah padanan dari kata masyarakat madani. Sedangkan Masyarakat madani lebih dekat dengan istilah mujtama’ Madani yang merupakan konsep tatanan ideal bermasyarakat yang telah diterapakan oleh Rasulullah SAW. ketika membangun masyarakat madinah.
Sebagai contoh perbadaan definisi yang disebabkan latar belakang sosio-cultur, adalah Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet mendefinisikan bahwa yang dimaksud masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Atau dengan kata lain yang dimaksud masyarakat madani di sini adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan Negara.[1] Pada kasus lain, Han Sung-joo dengan latar belakang kasus korea selatan memiliki definisi yang berbeda pula. Menurutnya yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari Negara, suatu ruang public yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solideritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.[2] Kedua devinisi diatas hanya sebagian kecil dari terjemahan civil society oleh beberapa pakar yang masih memungkinkan adanya celah-celah untuk mendefinisikan dengan fersi yang berbeda sesuai dengan kultur budaya yang melatarbelakangi.
Namun demikian dari kedua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sekelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan Negara memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan ruang public.[3]
Jika merunut geneologi istilah masyarakat madani dengan dipadankan civil society, diketahui bahwa konsep ini sebenarnya telah dirumuskan sejak zaman Aristoteles (384-322 S.M). Menurut Dawam Raharjo, pada masa itu masyarakat madani dipahami sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan.[4]
Namun demikian istilah ini lebih populer diperkenalkan oleh Marcus Tulllius Cicero (106-43 S.M.) dengan menggunakan istilah societies sivilis. Ia adalah seorang orator dan pujangga Roma yang hidup dalam abad pertama sebelum Kristus. Civil Society disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.[5]  
Dalam rentetan sejarah konsep civil society yang dikemukakan oleh para pakar ada yang menarik untuk diperhatikan, yaitu adanya kontradiksi pemikiran. Sebagai contoh Thomas Paine ( 1737-1803) menggunakan istilah masyarakat madani ssebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara bahkan dianggapnya antithesis dari Negara. Pain mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi Negara di dalamnya merupakan aktifitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol Negara demi kebutuhannya.  Dalam hal ini Islam memandang penyepadanan antara istilah masyarakat madani dengan civil society rasnya tidak tepat. Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara (din) agama dan (daulah) Negara. Bahkan Rasulullah SAW. diutus tidak hanya sebagai pemimpin kegamaan melainkan pemimpin kenegaraan yang mengatur kehidupan bermasyrakat.
Pada fasa perkembangan konsep masyarakat madani berikutnya, G.W.F Hegel (1770-1831 M.), Karl Marx. (1818-1883 M.) dan Antonio Gramschi (1891-1837 M) justru memiliki pandangan berlawanan dengan yang dikemukakan oleh Pain. Ketiga tokoh ini menekankan bahwa mmasyarakat madani sebagai elemen ideology kelas dominan. Menurut Hegel masyarakat madani adalah kelompok subordinatif dari Negara. Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa struktur sosial terbagi atas tiga entitas yakni keuarga, masyarakat madani, dan Negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakatyang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara Negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak dan berhak penuh untuk intervensi masyarakat madani.[6]
Sedangkan di Indonesia konsep masyarakat madani menurut beberapa literature disepakati bahwa yang mengenalkan istilah ini adalah Timbalan P.M. Malaysia Anwar Ibrahim melalui ceramahnya di vestifal Istiqlal 1995. Dawam Raharjo menyebutkan bahwa agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai “masyarakat madani” yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban, dan perkotaan.[7]

2.      Tujuan Masyarakat Madani
Telah disepakati bahwa istilah masyarakat madani lebih mengacu pada konsep masyarakat madinah yang kala itu memiliki perdaban yang tinggi. Hal ini bisa terjadi karena prinsip yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. berdasarkan nilai-niliai Islam. Islam telah mengatur tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara unsure-unsur keduniaan dan keagamaan. Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat alquran yang banyak membicarakan tentang bagaimana membentuk masyarakat yang ideal, masyarakat yang toleran dan masyrakat yang moderat.
Sebagai contoh konsep masyarakat madani ditelaah dari penafsiran alquran dengan (khairah ummah), masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Berikut ini kutipan ayat-ayat yang menggunakan istilah-istilah tersebut :
  1. Khairah ummah dalam QS. Ali Imran (3): 110, yakni ;
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ 
بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.
Terjemahnya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
2. Ummatan wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا 
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ.
Artinya :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

3.Ummah Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66, yakni ;
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ
 تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ.
Terjemahnya :
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
       Dari kutipan ketiga ayat tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Alquran mengindikasikan akan kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang muslim sebagai umat yang terbaik, umat yang tawasut atau moderat jika telah benar-benar mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Yang menjadikan konsep masyrakat madani berbeda dengan konsep civil society dengan pemahaman yang berbeda, Islam di sini dalam kontek dimana keimanan atau akidah keislaman merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dalam ranah penerapan konsep tersebut. Maka sangat masuk akal ketika pada ayat yang pertama diatas menyebutkan bahwa andaikata ahli kitab itu beriman maka akan berpotensi menjadi umat yang baik pula.
         Selain dari ketiga ayat di atas ada juga ayat yang berkaitan dengan visi kemasyarakatan. Allah berfirman dalam surat Ali Imron Ayat 103 dan 104 yang artinya:   Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. merekalah orang-orang yang beruntung.
     Kedua ayat ini memiliki hubungan yang erat. Yang pertama adalah perintah untuk membentuk kesatuan umat yang bersatu di bawah hukum illahi. Sedangkan yang ke dua dapat ditafsirkan agar ada sekelompok orang-mungkin diantara pemimpin masyarakat- yang membantu ummah. Di sini ummah  dapat ditafsirkan organisasi, menurut Ibnu Khaldun organisasi ini di zaman modern  tak lain adalah Negara atau pemerintahan.
Menurut Dawam Raharjo, visi kemasyarakatan yang dapat ditarik dari ayat 103 adalah pertama kesatuan ummat yang menghindarkan diri dari perpecahan. Dalam konteks sejarah Indonesia visi ini diterjemahkan menjadi sila ke-tiga pancasila, yaitu persatuan Indonesia. Kedua, adalaha adanya hukum yang disepakati sebagai pegangan.(Dawam Raharjo:95) Tanpa hukum masyarakat akan kebingungan dengan apa mereka harus berpegangan. Hukum sebagai pnyelaras yang mengontrol tatanan masyarakat.
Dengan demikian telah jelas bahwa munculnya konsep masyarakat madani adalah dalam upaya membentuk masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi. Artinya semua elemen baik pemerintah dan masyarakat dapat menjalankan tugas sesaui peran masing-masing tanpa tumpang tindih. Sehingga sterciptalah masyrakat yang sejahtera, berpendidikan dan memiliki loyalitas tinggi terhadap Negara dan kesatuan warga Negara.
4.      Karakteristik Masyarakat Madani
Dr. M. Masykuri, M.Si mengutip statemen Dr. Yusuf Al-Qordawi tentang karakteristik masyarakat madani yaitu:
  • Non rasisme dan regionalisme (negara internasional): masyarakat madani/Negara Islam tidak didasarkan pada batas-batas geografis, suku, bahas dan warna kulit, melainkan negara yang terbuka bagi semua orang yang mengimani Islam; 
  • Konstitusi negara berdasar syariat: konstitusi negara adalah AlQuran dan assunnah.“…dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” QS Al Maidah, 49:Negara berdasarkan musyawarah: memberikan hak pada setiap individu untuk memberikan nasehat pada penguasa agar senantiasa amar ma’ruf nahi mungkar (QS At Taubah, 71). 
  • Negara sebagai sarana dakwah: salah satu tujuan negara adalah dakwah islamiyah; bukan negara pengumpul harta benda. 
  • Negara sebagai pelindung yang lemah: negara mengutamakan kesejahteraan kaum lemah, memberikan sebagian pendapatannya untuk kaum dhuafa (QS Al Hasyr: 4).  Negara menjamin hak asasi: hak hidup, hak memiliki, hak beragama, hak terhadap jiwa, kehormatan, harta dan keturunan. 
  • Negara sebagai penjaga moral bangsa: negara menjunjung tinggi akhlak mulia (AnNisa: 135)
5.      Piagam Madinah dan Potret Kerukunan Antar Umat Beragama
Perjuangan dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah SAW. melalui tahapan-tahapan yang panjang. Dakwah Islam mula-mula dengan cara diam-diam. Setelah wahyu yang mengutus Rasulullah SAW. untuk menyampaikan dakwah kepada orang lain turun, maka Beliau berdakwah kepada kerabatnya, dan orang-orang terdekat. Kala itu Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam. Setelah itu Ali bin Abi Thalib adalah yang pertama dari anak-anak dan Zaid bin Haritsah dari kalangan budak. Dan lima orang lainnya yang merupakan orang-orang yang pertama masuk Islam atau lebih dikenal dengan Assabiqunal awwalun.
Maka ketika Rasulullah SAW. diberi lisensi oleh Allah swt. untuk menyebarkan agama Islam secara terang-terangan, beliaupun melakukannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan totalitas. Berbagai rintangan dan hambatan selalu dihadapi tanpa putus asa. Terlebih kaum Qurays yang punya watak keras kepala, bukan hal yang mudah untuk mengajak mereka masuk Islam. Tak jarang Rasulullah saw. diejek dicemooh secara terang-terangan.
Setelah perjuangan dakwah Islam di Makkah dirasa cukup, maka Rasulullah SAW. berdakwah ke luar Makkah. Sejarah mencatat bahwa hijrah ke Yatsrib atau lebih dikenal kini dengan Madinah bukan kali pertama yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebelumnya Beliau dan para Sahabat pernah melakukan dakwah ke Habasyah dan Taif. Adapun hijrah Nabi ke Yastrib dipahami banyak orang, seolah-olah satu-satunya tempat tujuan Nabi berhijrah. Hal ini diasumsikan bahwa saat itu Nabi telah mendapatkan pencapaian keberhasilan yang luar biasa. Inilah yang menjadikan beberapa kalangan kontek Madinah adalah potret kehidupan brmasyarakat yang ideal untuk dijadikan panutan.
Diantara bukti-bukti yang meneladani kaum Muslimin untuk bisa hidup bermasyarakat yang madani yaitu dengan melihat kronologi dan rangkaian-rangkaian dakwah yang dilakukan Rasul ketika di Madinah. Setiba di Madinah, yang dilakukan adalah membangun sebuah masjid. Disebutkan bahwa saat lokasi telah ditentukan yang mana kala itu mengikuti dimana unta yang ditunggangu Rasulullah berlutut. Di lokasi itu didapati kuburan orang-orang muyrik. Nabi memerintahkan untuk menggalinya dan memindahkan di tempat lain.(Mubarakfury:143) Ini menandakan bahwa akan sikap toleran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Masjid yang dibangun ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat melaksanakan sholat lima waktu, melainkan juga sebagai tempat  untuk menyampaikan pemahaman tentang Islam, sebagai tempat pertemuan para kabilah untuk membicarakan berbagai urusan serta menjadi parlemen untuk melakukan musyawarah dan mengagendakan suatu rencana.(Mubnarakfuru:143) Selain itu masjid juga berfungsi sebagi tempat tinggal para kaum muhajirin yang membutuhkan yang saat itu tidak memiliki harta, tempat tinggal bahkan keluarga.
Setelah Nabi menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul dan bersatu, langkah berikutnya adalah mempersatukan antara Muhajirin dan Anshor. Mubarokfury mengutip perkataan Ibnu Qayyim:”Maka Rasulullah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor di rumah Anas bin Malik. Jumlah mereka Sembilan puluh orang. Separuh Muhajirin dan separuh lainnya Anshor. Mempersatukan mereka dengan persamaan dan saling mewarisi setelah mereka mati. Kesepaktan ini terhapus setelah turun surat al-anfal  ayat 75 yang mengembalikan hak harta waris kepada kaum kerabat bukan karena ikatan persaudaraan non kerabat   yang artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
Ini menandakan bahwa ikatan persaudaran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. telah melunturkan unsur-unsur kesukuan, perbedaan ras, warna kulit yang melatar belakangi mereka. Meraka hanya punya satu rasa, satu ikatan yaitu hanya ikatan akidah Islam. Selain Rasulullah SAW. mempersatukan orang-orang mukmin dari dua wilayah yang berbeda, Beliau juga mengadakan perjanjian persekutuan Islami kepada orang-orang yang pernah tesakiti dan kabilah-kabilah yang berseteru. pada masa jahiliyah. Perjanjian ini untuk mewujudkan Islam yang sempurna.
Tidak cukup sampai di situ. Setelah Rasulullah SAW. meletakkan pilar-pilar persatuan dan persaudaraan sesama muslim, langkah berikutnya yang dilakukan adalah membuat perjanjian dengan penduduk madinah yang non muslim. Masyarakat non muslim di Madinah didominasi oleh orang Yahudi yang telah menetap jauh sbelum Rasulullah beserta para Sahabat datang. Tujuannya adalah untuk menciptakan keamanan dan ketentraman untuk seluruh manusia di bawah satu peraturan yang melindungi dan mengayomi. (Al-Mubarokfury:147)  Maka Rasulullah SAW. meletakkan prinsip toleransi (tasamuh)  yang kala itu masyarakat di dunia masih akrab dengan fanatisme kesukuan, ras, agama dan budaya.   
Setelah Piagam Madinah atau menurut orang barat sosial contaract ditetapkan,  maka masing-masing penduduk Madinah diberikan kebebasan untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Kaum Yahudi dan umat Islam hidup berdampingan dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Jika memperhatikan poin-poin yang terkandung dalam piagam Madinah, diantara poinnya menyebutkan bahwa “ Sesunggunya orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu ‘umat’ bersama orang- orang mukmin. Bagi orang yahudi memiliki hak atas beragama harta dan jiwanya begitu juga orang-orang Muslim. Berlaku juga bagi orang-orang Yahudi selain dari bani ‘Auf”. Dari penggalan perjanjian diatas dapat dipahami bahwa baik Muslim dan Yahudi satu “umat”. Umat di sini memiliki arti masyrakat yang satu atau warga yang memiliki persamaan hak dan kewajiban.

6.      Masyarakat madani di Indonesia; Paradigma dan praktik
Gagasan Masyrakat madani di Indonesia mulai tampak menjelang tumbangnya rezim Orde Baru. Dalam penilaian banyak kalangan, selama Orde Baru, kekuasaan pemerintah telah berkembang terlalau jauh. Pada Pada masa Demokrasi terpimpin, hal itu sudah terjadi  dan sebenarnya hendak di cegah dalam pemerintahan Orde Baru. Tetapi dalam kenyataannya yang terjadi pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda dengan di masa Orde Lama. Yaitu,  pemerintah telah mendominasi kekuasaan-kekuasaan lainnya. Dominasi terhadap lembaga peradilan dan lembaga Perwakilan Rakyat telah menimbunglkan gangguan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan mekanisme demokrasi.(Dawam:233) Agaknya hal ini mengindikasikan bahwa konsep Masyarakat madani muncul berkaitan erat dengan gagasan dan visi demokratisasi yang diperjuangkan banyak kalangan. Mengingat proses demokratisasi yang digembor-gemborkan seolah-olah tidak mendapati hasil yang memuaskan.
Untuk kasus di Indonesia, Agama mengambil peranan penting dalam membentuk Masyarakat madani, khususnya sebagai masyarakat politik. Namun hal ini terkadang mengalami hambatan dikarenakan Idealisme Negara menjadi kecenderungan yang dominan. Kecenderungan Negara yang idealistik dan integralistik ini dapat memarginalakn peranan agama. Marginalisasi agama berarti pengeringan sumber-sumber nilai agama. (Dawam: 230)
Hal ini sangat mencolok ketika dibandingkan dengan konsep masyarakat madani yang diterapkan di dunia Barat, agama relatif tidak pernah menjadi pusat kekuasaan. Berbeda dengan beberapa wilayah, sejarah pernah mencatat bahwa justru unsur agama menempati tempat tersendiri dalam proses pemebentukan masyarakat yang madani. Seperti yang telah dilakukan Rasulullah SAW. ketika membangun kota Madinah. Hal ini menginspirasi banyak kalangan termasuk tokoh-tokoh dari Indonesia.
Dengan demikian rasanya tidak pas kalau ada sebagian kalangan beranggapan bahwa menerapkan konsep Masyarakat Madani di Indonsia ini tidak  relevan dan tidak cocok. ‘Mereka’ beranggapan bahwa konsep ini lahir dari pemikiran orang barat yang dikhawatirkan akan mengarah pada pemahaman yang sekuler, liberal tanpa batas. Istilah boleh sama tapi muatan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tentu berbeda. Padahal setiap Negara memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda dan latar belakang merupakan elemen penting untuk menganalisa permasalahan-permasalahan untuk kemudian ditindak lanjuti dengan mencarikan solisi dan jalan keluar. Dengan demikian jika ingin berhasil, maka penerapan Konsep Masyarakat Madani harus disesuaikan dengan konteks Keindonesiaan.

7.      Strategi membangun Masyarakat Madani di Indonesia
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa dalam masyarakat madani, warga Negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap Negara (vis a vis the state)[8] Meskipun begitu bukan berarti pemerintah tidak memiliki kontribusi sedikitpun. Tugas pemerintah adalah menjalankan amanah rakyat dengan memperhatikan hak-hak dan keinginan rakyatnya tanpa ada unsur otoriter dan kekuasaan tanpa batas.  Dengan demikian pemerintah tetap menjadi faktor penting dalam demokratisasi dan reformasi politik yang merupakan agenda bagi berbagai gerakan dan kelompok masyarakat.
Upaya membangun masyarakat madani adalah buah dari kegagalan demokratisasi yang berjalan di Indonesia. Untuk itu muncullah berbagai gagasasan agenda pemberdayaan masyarakat. Pertama, yang lebih mementingkan upaya-upaya integrasi nasional mencakup integrasi politik, integrasi sosial, integrasi ekonomi, dan integrasi budaya di bawah kepemimpinan pemerintah. Pemikiran ini justru dianggap menimbulkan hambatan-hambatan menuju demokratisasi. Kedua, yang mengutamakan perombakan system politik yang memiliki cirri-ciri demokrasi, khususnya menghormati hak-hak asasi manusia. Usaha ke arah ini banyak mengalami kegagalan dan justru memancing munculnya tindakan-tindakan yang tidak demokratis. Ketiga, paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi, pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi.(Dawam: 242)
Lebih lanjut Dawam Raharjo menjelaskan, strategi yang dapat ditempuh untuk membangun masyarakat madani melalui pemberdayaan masyarakat dengan tiga cara. Pertama, dengan memperluas golongan menengah melalui pembangunan ekonomi yang lebih terarah. Kedua, memberdayakan system politik dengan menciptakan kerangka kelembagaan yang lebih kondusif terhadap demokratisasi. Dan ketiga, dengan upaya-upaya penyadaran dan pendidikan politik, tidak hanya di lapisan menengah ke bawah, tetapi di kalangan elit politik.(Dawam: 245)  
Dalam kerangka pemikiran masyarakat madani, persatuan umat dipandang sangatlah penting. Persatuan ini dilandasi oleh kebajikan umum (alkhair) yang diterima bersama. (Dawam 245) Persatuan dan kesatuan adalah modal awal sebelum melangkah untuk melakukan strategi-strategi mewujudkan masyarakat madani. Jika persatuan telah melekat dan perbedaan telah terkikis, maka  langkah untuk mewujudkan cita-cita bersama adalah perkara yang tidak mustahil dan masyarakat madanipun segera terealisasi.


Referensi

Tim ICEE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi manusi dan Masyarakat Madani, Jakarta: 2003.
Fazrianto,Anugrah Teorisasi Demokrasi, Negara Bangsa, dan Masyarakat Madani dalam perspektif UUD 45, Proceeding semnas FISIP UT-2011 hal. 13
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, Kritik hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Majid, LP2IF, Yogyakarta: 2001.
Culla, Adi Surya, Masyarakat Madani; Pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita Reformasi. Rajawali Press, Jakarta:





[1] Tim ICEE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi manusi dan Masyarakat Madani, Jakarta: 2003 hal. 238
[2] Ibid hal. 239
[3] Ibid hal. 240
[4] Ibid hal. 242
[5] M. Dawam raharjo , Masyarakat Madani; Agama, kelas menengah dan perubahan Sosial, hal 137.
[6] Tim ICEE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi manusi dan Masyarakat Madani, Jakarta: 2003 hal. 244
[7] M. Dawam raharjo , Masyarakat Madani; Agama, kelas menengah dan perubahan Sosial, hal.
[8] Anugrah Fazrianto, Teorisasi Demokrasi, Negara Bangsa, dan Masyarakat Madani dalam perspektif UUD 45, Proceeding semnas FISIP UT-2011 hal. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koleksi Karya Ulama Nusantara dalam Berbagai Bidang Keilmuan Dahulu hingga Kini

Sumber: https://nusantaranews.co/ Di bawah ini ada sekitar 184 link tempat download buku karya Ulama Nusantara dari klasik hingga k...